Dekade08.id - Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan lantang dan lugas ‘memainkan’ diplomasi pangan di Global Food Security Forum di Nusa Dua Bali Pada Minggu 11 November 2022. Pada Forum Keamanan Pangan Dunia Negara G 20 tersebut, Menhan bahkan memposisikan diri sebagai “marketer” produk olahan singkong berupa pasta dan mi instan buatan anak bangsa. Ini sekaligus menjadi sinyal bahwa Indonesia tak gentar menghadapi ancaman krisis pangan yang sudah melanda sejumlah negara dan memicu terjadinya instabilitas sosial, ekonomi dan politik. Di sisi lain mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu menebar ajakan kerja sama, kolaborasi, sinergi para elite global untuk bersama-sama menghadapi ancaman bencana kelaparan.
Hampir semua negara saat ini meninjau ulang kebijakan pangan mereka, tak terkecuali Indonesia. Banyak negara juga semakin bersikap hati-hati terkait kebijakan pangan pascapandemi dan di tengah panasnya kontestasi geopolitik global, baik berupa pengendalian hingga kebijakan penghentian total ekspor pangan. Dalam konteks nasional, langkah strategis kebijakan pangan tentunya diambil untuk mengamankan perut 273.879.750 jiwa rakyat Indonesia (Kemendagri 2021). Pangan dalam berbagai variannya, dipastikan akan menjadi salah satu “alutsista” perang masa depan atau “perang pangan”, di mana negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan pengetatan dan ‘mengunci’ kebijakan pangan.
Krisis pangan akan tetap menjadi isu strategis dan penting di masa mendatang dan ini pula yang mendorong Menhan Prabowo dalam berbagai kesempatan, termasuk di forum bergengsi G-20, untuk tetap lantang menyuarakan isu pangan. Di sisi lain, kondisi global yang serba tak pasti semakin meniscayakan ketahanan pangan. Temuan Bank Dunia menyebutkan bahwa hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan pada 2021, atau hampir 40 juta lebih banyak daripada 2020. Sedangkan menurut World Food Program (WFP), setahun Covid-19 mewabah, 276 juta orang menghadapi kelaparan parah, kemudian 44 juta pria, wanita, dan anak-anak berada di ambang kelaparan, dan 584 ribu orang mengalami gejala kelaparan. Artinya, kondisi global saat ini nyaris berada di ambang “kiamat pangan” di tengah kondisi yang serba disrupsi atau tak pasti.
Diplomasi dan “Kiamat Pangan”
Pidato Menhan di forum G-20 tersebut perlu dilihat dalam bingkai national interest dalam konteks upaya membangun ketahanan pangan nasional, sekaligus menjadi bagian diplomasi pangan (makanan) atau gastrodiplomasi. Diplomasi pangan yang ‘dimainkan’ Prabowo di forum tersebut juga merupakan langkah strategis Indonesia untuk mempengaruhi negara lain agar mau membuka ruang sinergi dan kolaborasi dalam menghadapi ancaman krisis pangan yang semakin nyata, terutama pada aspek produksi dalam kaitannya dengan teknologi pertanian dan investasi. Kali ini, Menhan menggunakan produk pangan buatan anak bangsa untuk meningkatkan citra dan martabat bangsa di kancah internasional. Sekaligus mencerminkan pendekatan soft power untuk mempengaruhi dan membangun kerjasa sama dengan negara anggota G 20 dalam menghadapi ancaman krisis pangan.
Diplomasi pangan yang Menhan jalankan di forum internasional tersebut sekaligus menandakan bahwa konsistensi dan konsern Prabowo atas isu pangan belum meredup. Ini karena persoalan pangan memang berkorelasi erat dengan hidup matinya suatu negara. Pangan juga erat kaitannya dengan eksistensi, kekuatan negara, dan menjadi “alutsista” pertahanan bangsa agar terhindar gejolak politik dan sosial dalam negeri. Inilah yang menjadi tantangan serius negara besar seperti Indonesia yang memiliki sumber daya pangan yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan perut dan gizi seluruh rakyat Indonesia.
Setidaknya Menhan melihat empat indikator ancaman “kiamat pangan” global yang semakin mendekat. Pertama adalah menguatnya kecenderungan negara melakukan pengetatan kebijakan pangan dalam negeri dan menurunnya produktivitas pangan global akibat pandemi Covid-19. Hantaman pandemi Covid-19 telah mengunci aktivitas pertanian dunia yang berefek pada anjloknya produktivitas pertanian global. Hal ini pula yang membuat Presiden Joko Widodo khawatir saat 22 negara mengeluarkan kebijakan untuk mengerem bahkan menghentikan ekspor hasil pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka. Di sisi lain, pada rentang periode 2015-2050 diprediksi tingkat produktivitas pertanian negara-negara berkembang akan menyusut 9% hingga 20%.
Kedua adalah perubahan iklim yang terus mengacak siklus produksi pangan global. Perubahan iklim juga menambah kerentanan ekologi yang berujung pada bencana alam banjir, longsor dan lainnya yang berpengaruh terhadap produksi pangan global, termasuk dinamika cuaca ekstrem dan anomali cuaca seperti kejadian fenomena El-Nino (musim kemarau panjang), dan La-Nina (musim hujan lebih lama dari biasanya). Ketiga dari aspek demografi di mana tren populasi pertumbuhan penduduk terus meningkat. Pertambahan penduduk dunia terus mengalami peningkatan setiap tahun, sementara peningkatan tren produksi pangan global terus menyusut. Di sisi lain berdasarkan data PBB, populasi penduduk global terus tumbuh dan diprediksi tembus 10 miliar jiwa pada 2050, sementara penduduk Indonesia mencapai 300 juta pada tahun tersebut. Artinya, ledakan populasi hampir bisa dipastikan akan terjadi di Indonesia dengan indikator pertumbuhan jumlah penduduk mencapai 1,9% per tahunnya. Artinya ada sekitar 5 juta bayi atau 4,2 juta hingga hampir 4,8 juta bayi baru lahir di Indonesia (data BKKBN) yang harus dipenuhi kebutuhan pangan dan gizi mereka.
Keempat adalah konflik geopolitik global Rusia-Ukraina yang berujung pada aksi blokade yang mengganggu rantai pasok pangan global. Terutama komoditas pangan gandum dimana kedua negara yang sedang berkonflik tersebut merupakan memasok 31% kebutuhan gandum global. Pasokan gandum di pasar global pun terganggu dan harga gandung meningkat 56% dari sebelumnya sekitar 8 dollar AS menjadi 12,4 dolar AS per gantang. Setidaknya, empat indikator ini yang mendorong prabowo untuk menyuarakan ketahanan pangan dan kemandirian pangan dalam berbagai kesempatan.
Momentum Penguatan Ketahanan Pangan
“Diplomasi singkong” yang dijalankan Menhan Prabowo di Bali tersebut mestinya menjadi momentun bagi seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama memantapkan penguatan ketahanan pangan, terutama pada program food estate. Sinergi kelembagaan, baik itu Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian BUMN, perlu dimantapkan terutama pada aspek produksi melalui perencanaan, kerja sama yang matang, dan menghindari ego sektoral.
Adapun kontroversi tentang Kemhan sebagai leading sector dari program food estate dan polemik pelibatan TNI dalam proyek lumbung pangan perlu segera diakhiri. Hal ini karena persoalan pangan memang tidak bisa dilihat dari aspek pertanian semata, melainkan menyangkut pertahanan dan jatuh bangunnya suatu negara dalam situasi dunia yang serba disrupsi dan tak pasti ini. Empat indikator bencana krisis pangan yang disampaikan di atas membuktikan bahwa urusan ketahanan pangan dan kemandirian pangan memang tidak bisa dibebankan satu lembaga saja, sehingga dukungan maksimal semua K/L yang terlibat adalah keniscayaan.
Bagitu pula pandangan sinis atas pelibatan TNI dalam program food estate menjadi tak relevan karena memang krisis pangan yang berujung pada bencana kelaparan merupakan bagian dari ancaman nirmiliter sangat berpotensi memicu gejolak sosial dan stabilitas keamanan nasional. Di sisi lain, TNI punya pengamalan di bidang ketahanan pangan, organasi TNI juga sangat siap untuk digerakkan karena memiliki garis komando yang jelas dan efektif hingga ke level bawah. Begitu pula dari aspek SDM, keberadaan personel TNI tersebar di seluruh pelosok nusantara yang selalui siap digerakkan untuk penguatan ketahanan pangan. Hal Ini juga disinggung dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa salah satu tugas TNI adalah Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menyangkut ancaman nir-militer bencana pangan dan kelaparan.
Pelibatan personel TNI pada urusan pangan harus dilihat dari aspek preventif dan kewaspadaan atas munculnya krisis pangan yang mengancam kedaulatan bangsa dan instabilitas keamanan nasional. Ini sejalan dengan pandangan Caroline Thomas dan Jessica Mathews, bahwa aspek Hankam tak hanya melulu berdimensi militer, namun juga menyangkut dimensi eksistensi dan kedaulatan negara, salah satunya adalah ancaman krisis pangan. Di sinilah pelibatan Kemenhan dalam urusan pangan menemukan relevansinya.
Alhasil, pidato Menhan Prabowo di forum G-20 tersebut harusnya menjadi penyemangat seluruh stakeholder yang terlibat dalam program ketahanan pangan. Diplomasi pangan di Bali tersebut merupakan langkah maju Indonesia bersama-sama negara lain untuk kompak menghadapi ancaman krisis pangan. Ini sekaligus membangun optimisme bahwa Indonesia mampu mewujudkan ketahanan pangan di tengah ketidakpastian global dengan dukungan solid suluruh komponen bangsa.